Keputusan,
Bagimana orang orang itu mampu memutuskan,
Bagiku terlalu berat, terlalu banyak pertimbangan,
Atau sebenernya aku pengecut,
Dimana aku bisa menemukan keyakinan,
Aku masih terus mencari,
Diantara dua sisi yang berbeda,
Aku menunggu salah satunya,
Tapi Bahkan keduanya tak ada,
Lalu bagaimana aku memutuskan,
Aku bukan sang pemberani,
Yang siap mati,
Tanpa tujuan pasti
“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing” - Chairil Anwar
Kamis, 06 Desember 2018
Senin, 12 November 2018
BEBAN
Tentang jodoh, bukan aku tak mau, bukan belum ada atau aku sedang menunggu.? Halangan terbesarku saat ini adalah ketakutan, aku begitu mengkhawatirkan orangtuaku pun pada calon istriku yang tak tau siapa, aku takut kalau kalau mereka nantinya tidak bisa aku urus. Ya seorang yang begitu percaya pada Tuhan dia pasti yakin bahwa semua sudah diatur dan tak akan terlalaikan, akupun percaya dan meyakininya, tapi sifatku manusia yang pasti terpengaruh oleh kenyataan, kenyataan bahwa pada akhirnya mereka yang selama ini begitu yakin dengan pernikahan tanpa pikir panjang hanya menyisakan beban yang kemudian harus ditanggung lagi oleh orang tua, bukan sekedar masalah memberi harta yang tak ada, bahkan terkadang merekapun menjadi fakir jiwa menambah beban pikiran orangtua, sungguh aku takut membebani orangtua, apalagi hari ini harta dan jiwaku belum kaya.
Orang boleh bicara panjang lebar tentang teorinya bahkan bacaanya begitu banyak, tapi Tuhan juga menyuruhku berfikir, berjaga jaga, aku pikir kondisiku sekarang juga bagian dari rencana Tuhan, karena setiap doakupun selalu meminta disiapkan, dimudahkan, dan disegerakan, tapi apa daya keyakinan yang kupinta belum jua terlaksana.
Aku sungguh tak ingin menjadi orang yang terlalu nekat, minimal jangan sampai aku melangkah dengan prisnsip "jalani saja" buatku itu seperti orang buta, ketakutanku bukan tak beralasan, seperti yang kubilang aku melihat, mendengar dan merasakan orang orang disekelilingku yang ketika berbicara sangat bijak, namun pada kenyataanya seolah olah mereka justru larut pada kesibukan mereka sendiri tanpa memikirkan dampak dan tanpa memikirkan apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab mereka, dalam kondisi seperti ini kewarasanku kemudian mengatakan jika mereka semua begitu apakah aku harus menjadi sama, kemudian siapa yang akan memikirkan hal yang seharusnya dipikirkan karena kita hidup bukan hanya dengan pasangan kita punya hubungan yang lain yang sama sama punya kewajiban disana, tak mungkin dengan penglihatanku ini aku acuh, setidaknya untuku jangan sampai aku berkata "yah ini memang sidah takdir" aku hanya ingin lebih berusaha, tapi tak satupun yang mampu melihat, sehingga memberikanku keringanan, inilah alasan dan beban terberatku untuk bertahan pada kondisi ini.
Aku masih menunggu jawaban, sebuah pencerahan, sebuah pertolongan, dan sebuah moment dimana aku bisa terlepas dari pikiran ini. Aku bisa saja bilang aku pasti bisa menjalaninya tapi itu ucapan hari ini dimana kekhawaatiranku belum benar benar terjadi, bagaimana jika itu terjadi dan aku menjadi khilaf untuk mempertanggungjawabkan apa yang harus ku pertanggungjawabkan, apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab seorang yang menjadi suami, anak, saudara dan mungkin orang tua pada akhirnya.
Orang boleh bicara panjang lebar tentang teorinya bahkan bacaanya begitu banyak, tapi Tuhan juga menyuruhku berfikir, berjaga jaga, aku pikir kondisiku sekarang juga bagian dari rencana Tuhan, karena setiap doakupun selalu meminta disiapkan, dimudahkan, dan disegerakan, tapi apa daya keyakinan yang kupinta belum jua terlaksana.
Aku sungguh tak ingin menjadi orang yang terlalu nekat, minimal jangan sampai aku melangkah dengan prisnsip "jalani saja" buatku itu seperti orang buta, ketakutanku bukan tak beralasan, seperti yang kubilang aku melihat, mendengar dan merasakan orang orang disekelilingku yang ketika berbicara sangat bijak, namun pada kenyataanya seolah olah mereka justru larut pada kesibukan mereka sendiri tanpa memikirkan dampak dan tanpa memikirkan apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab mereka, dalam kondisi seperti ini kewarasanku kemudian mengatakan jika mereka semua begitu apakah aku harus menjadi sama, kemudian siapa yang akan memikirkan hal yang seharusnya dipikirkan karena kita hidup bukan hanya dengan pasangan kita punya hubungan yang lain yang sama sama punya kewajiban disana, tak mungkin dengan penglihatanku ini aku acuh, setidaknya untuku jangan sampai aku berkata "yah ini memang sidah takdir" aku hanya ingin lebih berusaha, tapi tak satupun yang mampu melihat, sehingga memberikanku keringanan, inilah alasan dan beban terberatku untuk bertahan pada kondisi ini.
Aku masih menunggu jawaban, sebuah pencerahan, sebuah pertolongan, dan sebuah moment dimana aku bisa terlepas dari pikiran ini. Aku bisa saja bilang aku pasti bisa menjalaninya tapi itu ucapan hari ini dimana kekhawaatiranku belum benar benar terjadi, bagaimana jika itu terjadi dan aku menjadi khilaf untuk mempertanggungjawabkan apa yang harus ku pertanggungjawabkan, apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab seorang yang menjadi suami, anak, saudara dan mungkin orang tua pada akhirnya.
Minggu, 11 November 2018
Sebuah Pinta padaMu
Kenapa aku marah, kepada siapa aku marah tak satupun jawaban aku dapat hanya emosi yang memuncak pada apa saja yang dihadapanku, bertanyalah aku lebih dalam pada moment kesunyian dan kekhusuan, dan setelahnya akupun sadar bahwa aku marah pada diriku sendiri yang tak kunjung memutuskan kemana aku harus pergi.
Aku tak mau terus menerus terjebak dilubang ini, lubang yang begitu menyiksaku, dada ini sesak, mulutku, bibirku, dan lidahku begitu kelu, bahkan senyumpun mampu kuhitung dengan jari pada satu purnama, aku terus menerus bertanya apa sebenarnya yang aku inginkan dan perlukan, apakah sekedar bersenang senang atau gairah kehidupan dengan tujuan.
Jalan apa yang harus ku pilih, aku takut terjerumus pada jalan yang salah dan aku sudah tidak betah berdiam disini, seperti sudah tak sanggup menunggu, sungguh keraguan yang ada dalam hatiku, sungguh aku tak kunjung yakin dan berani memutuskan jalan, disatu sisi aku takut tak mampu menjalani prosesnya dan gagal kemudian aku terbuang pada realistas yang tak pernah kompromi pada kebenaran karena selalu memandang keberhasilan, disisi lain akupun tak mau jika harus berhasil dengan proses dan jalan yang salah.
Tidak satupun orang yang menolongku, yang sanggup dan bersedia menerimaku manakala aku jatuh sehingga aku berani mengambil resiko. Aku sendirian terjebak dengan kaki yang kaku untuk melangkah, waktu terus mendorongku mendesaku, semakin sempit ruang geraku sudah tak mungkin bisa aku kembali, namun didepan ada persimpangan yang begitu sulit untuku memutuskan kemana kaki ini akan kupijakan.
Tuhan tolong aku, sudah tak ada lagi manusia yang peduli padaku, hanya Engkau satu satunya harapanku, berikanlah setitik terang cahayaMu agar pudar segala keragu raguanku, sehingga langkah ini bukan semata mata karena kenekatan dan desakan tapi benar benar karena keyakinan.
Aku tak mau terus menerus terjebak dilubang ini, lubang yang begitu menyiksaku, dada ini sesak, mulutku, bibirku, dan lidahku begitu kelu, bahkan senyumpun mampu kuhitung dengan jari pada satu purnama, aku terus menerus bertanya apa sebenarnya yang aku inginkan dan perlukan, apakah sekedar bersenang senang atau gairah kehidupan dengan tujuan.
Jalan apa yang harus ku pilih, aku takut terjerumus pada jalan yang salah dan aku sudah tidak betah berdiam disini, seperti sudah tak sanggup menunggu, sungguh keraguan yang ada dalam hatiku, sungguh aku tak kunjung yakin dan berani memutuskan jalan, disatu sisi aku takut tak mampu menjalani prosesnya dan gagal kemudian aku terbuang pada realistas yang tak pernah kompromi pada kebenaran karena selalu memandang keberhasilan, disisi lain akupun tak mau jika harus berhasil dengan proses dan jalan yang salah.
Tidak satupun orang yang menolongku, yang sanggup dan bersedia menerimaku manakala aku jatuh sehingga aku berani mengambil resiko. Aku sendirian terjebak dengan kaki yang kaku untuk melangkah, waktu terus mendorongku mendesaku, semakin sempit ruang geraku sudah tak mungkin bisa aku kembali, namun didepan ada persimpangan yang begitu sulit untuku memutuskan kemana kaki ini akan kupijakan.
Tuhan tolong aku, sudah tak ada lagi manusia yang peduli padaku, hanya Engkau satu satunya harapanku, berikanlah setitik terang cahayaMu agar pudar segala keragu raguanku, sehingga langkah ini bukan semata mata karena kenekatan dan desakan tapi benar benar karena keyakinan.
Rabu, 07 November 2018
KERAGUAN
Bangun, bergerak, berekspresi, lelah dan kemudian tidur, berulang setiap hari hingga saat ini. Entah sejak kapan aku mulai merasa kebingungan kehilangan seluruh arah dan tujuan, barangkali semua ini tidak datang begitu saja, semua datang perlahan lahan, sedikit demi sedikit dimulai dari pertanyaan kecil pada setiap apa yang aku lakukan, pertanyaan tentang apakah semua yang kulakukan benar atau sebenarnya aku terjebak pada realitas orang lain dan bukan lagi pada diriku sendiri. Perlahan seiring dengan kehidupan yang tak mungkin diberhentikan hanya untuk menunggu satu pertanyaan terjawab dan puncaknya pertanyaan pertanyaan ini menggunung kemudian aku tak tahu lagi harus memulai dari mana aku mencari jawaban, maka aku singkat semua kondisiku ini dengan kata keraguan.
Tidak pula aku tak berusaha untuk menelusuri jalan yang menyesatkan ini dengan bertanya tentang apa dan bagaimana kepada setiap orang yang kutemui, hanya saja tak satupun jawaban memuaskan batin, selalu saja semua berakhir dengan abstrak seolah olah ada jawaban namun sebenarnya tidak, aku lebih sering menyerah dengan kata iya kepada jawaban jawaban yang klise, naif dan kadang kadang kurang realistis bak seorang pujangga yang sedang menggombali calon korbanya. Mulai dari sini selain keraguan akhirnya aku berjumpa pada kesepian, seperti tak ada satu orangpun yang mampu senada dengan pembicaraanku, lebih banyak aku temui orang orang yang justru lebih mirip motivator daripada mentor dan pencarian ini masih berlanjut aku belum menyerah hanya sedang lelah untuk berdialog, dan ini menjadi alasan kenapa malam ini aku mencoret coret blog.
Bersambung.....
Tidak pula aku tak berusaha untuk menelusuri jalan yang menyesatkan ini dengan bertanya tentang apa dan bagaimana kepada setiap orang yang kutemui, hanya saja tak satupun jawaban memuaskan batin, selalu saja semua berakhir dengan abstrak seolah olah ada jawaban namun sebenarnya tidak, aku lebih sering menyerah dengan kata iya kepada jawaban jawaban yang klise, naif dan kadang kadang kurang realistis bak seorang pujangga yang sedang menggombali calon korbanya. Mulai dari sini selain keraguan akhirnya aku berjumpa pada kesepian, seperti tak ada satu orangpun yang mampu senada dengan pembicaraanku, lebih banyak aku temui orang orang yang justru lebih mirip motivator daripada mentor dan pencarian ini masih berlanjut aku belum menyerah hanya sedang lelah untuk berdialog, dan ini menjadi alasan kenapa malam ini aku mencoret coret blog.
Bersambung.....
Rabu, 17 Oktober 2018
KEMANA
Kemana perginya cinta,
Tak ada lagi direlung jiwa,
Terlalu lamakah aku menyepi,
Atau aku yang sudah tak peduli,
Sepenggal kalimat tanya,
Apakah aku harus memaksa?
Tiada hati menurut pada kata kata
Jiwa ini tak pantas dipaksa
Bukan maksud sengaja menyendiri,
Tiada jiwa yang senang pada sepi,
Aku masih menunggu dan menanti,
Pada bau cinta yang mewangi,
Tak pula aku sedang menimang nimang nostalgia,
Sudah lama kenangan aku anggap hanya cerita,
Sudah kubilang berkali kali,
Aku tak kuasa memaksa cinta pada diri dan hati,
Kamis, 11 Oktober 2018
Pertanyaan
Jikalau semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, maka apakah pantas sebagian dari kita kemudian menentukan nilai nilai kemanusiaan, menentukan nilai nilai kebaikan mendefinisikan baik dan buruk, yang superior mengatur cara hidup inferior, jika demikian maka dimana makna dari kesetaraan. Belakangan ini aku mulai menyadari bahwa keputusan yang disepakati bersama ternyata bukanlah tolok ukur kebenaran untuk nilai nilai yang bersifat tetap, sebut saja HAM, bagaimana setiap orang kemudian dengan sekehendak hati menentukan apa itu HAM hanya karena mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan, kemudian mengabaikan suara suara kaum lemah yang tidak memiliki suara.
Bahwa jika kita sebenarnya tetap membutuhkan definisi tentang baik dan buruk sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan maka sangat tidak adil jika kita menggunakan referensi dari sekelompok manusia yang dianggap lebih superior dari kebanyakan, tapi pada hakikatnya merekapun sama sama tak paham darimana kita berasal dan untuk apa kita diciptakan dan apa sebenarnya kita ini, merekapun semua hanya menerka nerka mana yang baik dan mana yang buruk menurut pengalaman hidup sehingga banyak sekali kemudian pertanyaan pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh manusia dikarenakan setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda.
Rabu, 10 Oktober 2018
KEGELISAHAN
Setiap hari adalah kebosanan, seribu pertanyaan berkumpul bak sebuah benang kusut yang aku tak mampu menemukan pola untuk mengurainya, aku tak punya ghirah, aku selalu bingung untuk menjawab apa yang harus kulakukan esok, puncaknya adalah kegelisahan yang membuatku menjadi penikmat malam, penikmat ruang gelap berukuran 3 x 3 meter, disini dulu aku memulai mimpi yang menggebu, disini pula aku sekarang tersesat dari jalan.
Kuhabiskan waktu meminum kopi, menghisap tembakau, bermain apapun ku lakukan untuk membunuh kebosanan dan dan melupakan kegelisahan, berharap waktu akan menjawab seluruh pertanyaanku, semoga semua terjawab sebelum tubuhku ku rusak oleh semua kebiasaan ini.
Aku hanya berharap semua ini bukan sebab rasa kesepian, jika demikian maka mungkin akan sulit bagiku menyembuhkan, sudah lama aku tak bersua bercanda dan bercerita kepada siapapun, sudah kucoba tapi tak ada yang mampu menjadi lawan bicaraku, semua seakan tak memuaskanku, semua tak bisa seperti yang kuharapkan, bahkan kadang aku berfikir mungkin aku butuh kasih sayang, namun sedemikan rasa ku paksakan tiada satupun yang mampu menembus rasaku.
Kadang kadang aku juga berfikir apakah aku sudah gila. Aku tetap berharap segera mendapat jawabanya, dan semoga malam ini aku bisa mengucapkan selamat tidur untuk yang akhir akhir ini selalu menemani insomniaku ''KEGELISAHAN".
Minggu, 30 September 2018
Jawaban tanpa pertanyaan
Merindukan seseorang yang bahkan tak ada adalah sebuah kehampaan yang nyata, bagaimana tidak jangankan menggapai mengharapun tak bisa tak ada tujuan yang kutuju tak juga tahu harus berjuang seperti apa, bagiku mencintai seperti barang lapuk biarpun hati sudah kupaksa. Pelita hatiku ia tak mau menyala didalam hati, dingin dan gelap semua adalah rasa yang terpendam sejak pelita terakhir yang redup dan mati.
Jikalau aku boleh meminta datangkanlah sebuah pelita yang terang mesti tak seperti matahari biarpun tak sehangat dekapan ibu, bebaskan aku dari rasa sepi yang mendekap, jangan biarkan aku terlalu lama menanti dalam doa, aku tak memgerti aku belum pernah sepecundang ini, akupun tak ingin mempecundangi orang lain dengan melabuhkan cinta palsu, berpura pura melebur kesepian yang justru menyeretku pada gelepan yang abadi, sungguh aku tak ingin menyakiti orang lain dengan menjadikanya pelarian semata.
Jikalau cinta harus dipaksa mengapa sulit bagiku, jikalau rindu harus ku labuhkan kemana aku melabuhkan, jikalau sepi harus ku riangkan kemana aku harus cipta kegaduhan, aku bukan lagi anak anak yang bisa dengan mudah memasang wajah polos untuk mendapatkan apa yang kuinginkan, akupula bukan orang dewasa yang pintar memakai topeng, kemanakah aku harus mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang tak ada.
Gelisah adalah makanan sehari hari, belagak baik baik saja aku kadang bingung memilih antara memasang muka senyum palsu atau wajah serius yang menjengkelkan, sudah lama aku putuskan untuk tidak jatuh pada nafsu selama itu pula aku menahan dan mmenunggu kedatangan yang kunantikan.
Aku perlu tujuan yang mampu menghilangkan hingar bingar yang membingungkan.
Senin, 26 Februari 2018
Kisahmu
Aku tidak mengenalmu dari musim gugur yang menjatuhkan daun daun dan menyebarkan suasana pilu,
Aku tidak mengenalmu dari musim dingin yang membalut permukaan dengan salju dan membuat suasana dingin,
Aku tidak mengenalmu dari musim semi yang menhijaukan bumi dan menebar keriangan,
Akupun tak mengenalmu dari musim panas yang menggersangkan bumi dan mengusir manusia dari pelukan angin,
Aku hanya mengenalmu lewat rintik air dari langit yang membatasi dua musim, Datang dan perginya yang selalu diiringi hujan,
Dimana setiap pagi dan petangnya selalu menggoreskan kisah pada dinding kenangan,
Disanalah aku mengenalmu dan disana pula aku mengikhlaskanmu,
Sedang sisa sisa kisahku dan kamu,
Terekam pada percik air usai hujan,
Dan seketika sampailah padaku kenangan itu pada nafas pertama,
Oleh angin yang menebarkan bau basah.
Aku tidak mengenalmu dari musim dingin yang membalut permukaan dengan salju dan membuat suasana dingin,
Aku tidak mengenalmu dari musim semi yang menhijaukan bumi dan menebar keriangan,
Akupun tak mengenalmu dari musim panas yang menggersangkan bumi dan mengusir manusia dari pelukan angin,
Aku hanya mengenalmu lewat rintik air dari langit yang membatasi dua musim, Datang dan perginya yang selalu diiringi hujan,
Dimana setiap pagi dan petangnya selalu menggoreskan kisah pada dinding kenangan,
Disanalah aku mengenalmu dan disana pula aku mengikhlaskanmu,
Sedang sisa sisa kisahku dan kamu,
Terekam pada percik air usai hujan,
Dan seketika sampailah padaku kenangan itu pada nafas pertama,
Oleh angin yang menebarkan bau basah.
Selasa, 20 Februari 2018
Senja hidup
Tidak ada senja yang terlalu awal atau datangnya terlambat, Kalaupun langit tak selalu cerah, dan jingganya tertutup mendung, Ia selalu ada dan akan selalu datang, Membawa suasana suram dibatas suasana, Menjadi tanda akan datangnya malam yang gelap, Membawa suasana yang sepi dan kesepian, Memberi isyarat pada jiwa dan raga untuk berhenti terjaga dan menyuruh istirahat, untuk menyambut cerah berikutnya, dan aku percaya hidup selaksana siang dan malam yang berganti, Ketika kesepian yang suram datang disitulah senja hidup kita, sebentar lagi istirahatlah, kemudian siapkan untuk pagi yang cerah berikutnya.
Senin, 05 Februari 2018
SAJAK-KU
Sajak-ku adalah naungan,
Bagi gelisah yang ingin damai,
Sedih yang ingin berbahagia,
Dan tangis yang ingin tersenyum,
Seluruhnya emosi berselimut etika,
Mencari rupa tampan dari bahasa,
Menutupi luapan murka,
Lewat jalan yang beradab,
Resah adalah tandaku,
Dari murka yang mendesak,
Aku hanya ingin tetap bersahaja,
Saat emosi meletup dan meletus.
Minggu, 04 Februari 2018
Cari
Aku berlari kesana kemari,
Menoleh kanan dan kiri,
Keningku mengembun,
Lalu mengucur seperti mata air,
Aku masih mencari cari,
Kupandang seluruhnya,
Tapi luputku pada diri,
Tersadar itu ada didalam diri,
Kini aku mengerti,
Kau bukan berada diluar sana,
Kau bersemayam didalam dada,
Tapi tak sampai aku menggapaimu,
Aku takut merobek dada,
Betapapun sadar kau bersemayam disana,
Menoleh kanan dan kiri,
Keningku mengembun,
Lalu mengucur seperti mata air,
Aku masih mencari cari,
Kupandang seluruhnya,
Tapi luputku pada diri,
Tersadar itu ada didalam diri,
Kini aku mengerti,
Kau bukan berada diluar sana,
Kau bersemayam didalam dada,
Tapi tak sampai aku menggapaimu,
Aku takut merobek dada,
Betapapun sadar kau bersemayam disana,
Sabtu, 03 Februari 2018
Hujan
Aku seperti melihat kemarahan pada hujan hari ini,
Ia mengibas ngibaskan kemarahan,
Dengan percikan cahaya dan suara gertakan,
Setelah seharian tenang bersahaja
Apakah ada doa,
Apakah ada pertanda,
aku menanti hujan yang membelai,
Mendinginkan setiap jiwa yang mengamuk
Ia mengibas ngibaskan kemarahan,
Dengan percikan cahaya dan suara gertakan,
Setelah seharian tenang bersahaja
Apakah ada doa,
Apakah ada pertanda,
aku menanti hujan yang membelai,
Mendinginkan setiap jiwa yang mengamuk
Jumat, 02 Februari 2018
Bimbang
Hidup adalah bergerak,
Bergerak selalu butuh tujuan,
Tujuan membutuhkan jalan,
Jalan selalu mempunyai konsekuensi baik dan buruk untuk ditempuh,
Jikalau tujuanku adalah hanya untuk dihargai,
Maka apakah untuk aku harus memilih jalan,
Jalan tercepat mungkin dengan tak melihat baik dan buruk,
Tapi norma selalu membentengi tekad,
Aku tak benci norma,
Hanya saja tujuanku,
Seperti dibelenggu norma,
Aku ragu memilih tujuan atau norma
Jikalau kupilih norma,
Siapa yang akan menghargai,
Hidupku dikelilingi mata mata nominal,
Mereka tak pernah memandang cara
Mata mata itu,
Selalu melihat materi,
Sedang aku bukan putus asa,
Aku hanya masih punya norma,
Bergerak selalu butuh tujuan,
Tujuan membutuhkan jalan,
Jalan selalu mempunyai konsekuensi baik dan buruk untuk ditempuh,
Jikalau tujuanku adalah hanya untuk dihargai,
Maka apakah untuk aku harus memilih jalan,
Jalan tercepat mungkin dengan tak melihat baik dan buruk,
Tapi norma selalu membentengi tekad,
Aku tak benci norma,
Hanya saja tujuanku,
Seperti dibelenggu norma,
Aku ragu memilih tujuan atau norma
Jikalau kupilih norma,
Siapa yang akan menghargai,
Hidupku dikelilingi mata mata nominal,
Mereka tak pernah memandang cara
Mata mata itu,
Selalu melihat materi,
Sedang aku bukan putus asa,
Aku hanya masih punya norma,
Ambiguitas
Memahami hidup itu sulit,
Tak seperti aku dulu saja,
Yang begitu optimis dan idealis,
kurasa aku terlalu banyak ingin tahu,
kemudian terjebak dalam gelapnya persepsi,
kini aku terlanjur tersesat,
aku tak tahu bagaimana kembali,
dan terlalu letih melanjutkan,
Nafsuku hilang,
aku hanya ingin kedamaian,
tapi pikirku menolak, ia memberontak,
sedangkan ada pula kekuatan yang menahan bergerak,
memusingkan apa yang seharusnya tak kupusingkan,
dulu aku iri pada orang orang yang banyak tahu,
kini aku ingin menjadi mereka yang sedikit tahu,
bahwa sebenarnya mengetahui kebenaran adalah menambah kesulitan,
kini lisanku berhenti,
berhenti untuk mengungkap persepsi,
karena begitu berarti sebuah tindakan kecil,
dibanding setumpuk teori,
aku ingin pulang tapi tak ada jalan,
inginku menyanding bapak ibu,
tapi tak kuasa keyakinanku,
jika aku dulu mungkin saat ini aku sudah berkemas,
bahkan tak sempat menulis resah,
apakah aku terjebak dalam penyesalan,
ataukah hari ini aku sedang diasah,
supaya instingku tak lagi tumpul,
atau bahkan aku sedang mengarat.
Tak seperti aku dulu saja,
Yang begitu optimis dan idealis,
kurasa aku terlalu banyak ingin tahu,
kemudian terjebak dalam gelapnya persepsi,
kini aku terlanjur tersesat,
aku tak tahu bagaimana kembali,
dan terlalu letih melanjutkan,
Nafsuku hilang,
aku hanya ingin kedamaian,
tapi pikirku menolak, ia memberontak,
sedangkan ada pula kekuatan yang menahan bergerak,
memusingkan apa yang seharusnya tak kupusingkan,
dulu aku iri pada orang orang yang banyak tahu,
kini aku ingin menjadi mereka yang sedikit tahu,
bahwa sebenarnya mengetahui kebenaran adalah menambah kesulitan,
kini lisanku berhenti,
berhenti untuk mengungkap persepsi,
karena begitu berarti sebuah tindakan kecil,
dibanding setumpuk teori,
aku ingin pulang tapi tak ada jalan,
inginku menyanding bapak ibu,
tapi tak kuasa keyakinanku,
jika aku dulu mungkin saat ini aku sudah berkemas,
bahkan tak sempat menulis resah,
apakah aku terjebak dalam penyesalan,
ataukah hari ini aku sedang diasah,
supaya instingku tak lagi tumpul,
atau bahkan aku sedang mengarat.
Resah Tanpa Alasan
Tidak ada yang ingin merasa resah,
Resah adalah neraka,
Yang manis jadi pahit,
Mengaburkan segala kesadaran dan realita,
Tidak ada yang mau menerima kehadiranya
Tapi ia bukanlah hal yang bisa dicegah
Ia datang laksana angin yang menghembus lewat celah rumah
Tanpa sadar tiba tiba ia sudah didalam,
Resah karena ingin kaya kau tinggal cari harta,
Resah karena kekasih tinggal kau temui kekasih,
Resah beralasan bukanlah siksa
Iya hadir untuk menghidupkan
ada yang lebih berat dari resah,
Adalah resah tanpa alasan,
Dia mengganggu tidurmu,
mengganggu hidupmu,
Sebesar apa kau ingin menghilangkanya,
kau tak akan mengerti bagaimana,
Ia singgah tanpa alasan,
Pergipun harusnya tanpa alasan,
kemudian pikiranmu terpedaya,
bingung bagaimana mengusirnya,
sedang ia terus mengurasmu,
jiwa dan berdampak ragamu,
aku ingin bebas,
dari resah yang menggelisah,
datanglah tentram dan damai,
jangan minta alasan, datanglah seperti resah tanpa alasan
Resah adalah neraka,
Yang manis jadi pahit,
Mengaburkan segala kesadaran dan realita,
Tidak ada yang mau menerima kehadiranya
Tapi ia bukanlah hal yang bisa dicegah
Ia datang laksana angin yang menghembus lewat celah rumah
Tanpa sadar tiba tiba ia sudah didalam,
Resah karena ingin kaya kau tinggal cari harta,
Resah karena kekasih tinggal kau temui kekasih,
Resah beralasan bukanlah siksa
Iya hadir untuk menghidupkan
ada yang lebih berat dari resah,
Adalah resah tanpa alasan,
Dia mengganggu tidurmu,
mengganggu hidupmu,
Sebesar apa kau ingin menghilangkanya,
kau tak akan mengerti bagaimana,
Ia singgah tanpa alasan,
Pergipun harusnya tanpa alasan,
kemudian pikiranmu terpedaya,
bingung bagaimana mengusirnya,
sedang ia terus mengurasmu,
jiwa dan berdampak ragamu,
aku ingin bebas,
dari resah yang menggelisah,
datanglah tentram dan damai,
jangan minta alasan, datanglah seperti resah tanpa alasan
Rabu, 24 Januari 2018
Hampa
Tidaklah sulit memahami dosa,
Tanyalah pada hati tanpa noda,
Jiwa yang jauh dari prasangka,
Dan pikiran tanpa persepsi, merdeka,
Tapi banyaklah jenis manusia,
Ada yang acuh dan pura pura lupa,
Ada yang hijrah dan meninggalkan semua,
Dan diantara keduanya ada yang merana,
Ia tak acuh pun tak hijrah,
Ia diam dan ragu pada bicara,
Hanya sesekali jika ada lawan bicara,
Tubuh dan jiwanya lengang,
Jiwanya yang berkecamuk,
Dan pikiranya jadi medan perang,
Tahu dosa tapi tak pandai meninggalkan,
Kemudian ia jadi mahluk gentayangan,
Ia adalah hampa diluar,
Sedang hatinya adalah medan perang,
Ia ragu sepanjang jalan,
Berhenti tak maju tak mundur,
Melayang pada ruang Hampa
Senin, 22 Januari 2018
AKU
Mengeluhlah aku padaku,
Sepuasku hingga waktu berlalu,
Janganlah aku menggnti dengan kamu atau mereka,
Biarkan terbatas pada ruangku,
Biarkan aku setiap renungku,
Membeku pada singgasana kelabu,
Berdirilah pada ruang gema dan cermin,
Sehingga keluhku kembali padaku,
Karena kamu dan mereka,
Adalah ruang kritis untuk kamu dan mereka,
Biarlah aku dicaci olehku,
Tapi jangan kamu atau mereka,
Tapi ingatlah aku,
Jangan kau padamkan lilin asaku,
Supaya setiap keluhku,
Akan kembali kepada usahaku,
Jikalau aku sudah tak mampu menerimaku,
Tataplah cermin bayanganku,
Katakan Aku bukanlah aku
Aku adalah ciptaNya,
Maka tunduklah aku, memuja memuji meminta padaNya.
Sepuasku hingga waktu berlalu,
Janganlah aku menggnti dengan kamu atau mereka,
Biarkan terbatas pada ruangku,
Biarkan aku setiap renungku,
Membeku pada singgasana kelabu,
Berdirilah pada ruang gema dan cermin,
Sehingga keluhku kembali padaku,
Karena kamu dan mereka,
Adalah ruang kritis untuk kamu dan mereka,
Biarlah aku dicaci olehku,
Tapi jangan kamu atau mereka,
Tapi ingatlah aku,
Jangan kau padamkan lilin asaku,
Supaya setiap keluhku,
Akan kembali kepada usahaku,
Jikalau aku sudah tak mampu menerimaku,
Tataplah cermin bayanganku,
Katakan Aku bukanlah aku
Aku adalah ciptaNya,
Maka tunduklah aku, memuja memuji meminta padaNya.
Senin, 15 Januari 2018
Hilang
Sajaku hilang,
Tenggelam bersama bait bait yang pudar,
Kau yang biasa hadir pada gelisah,
Kini menghujam bersama jarum jam,
Yang turun dari puncak penanda hari baru,
Betapa kumerindu,
Dinginya subuh bersama panggilan suci,
Dari pencipta semesta dunia,
Yang dibumbu angin sejuk membelai,
Lelaplah, aku
Tenggelam bersama bait bait yang pudar,
Kau yang biasa hadir pada gelisah,
Kini menghujam bersama jarum jam,
Yang turun dari puncak penanda hari baru,
Betapa kumerindu,
Dinginya subuh bersama panggilan suci,
Dari pencipta semesta dunia,
Yang dibumbu angin sejuk membelai,
Lelaplah, aku
Selasa, 09 Januari 2018
PEMBENARAN
Tertunduk insan diwajah bumi yang suram,
Melolong sana sini pada hari bingar,
Mencari ketenangan didalam jeritnya,
Mencaci jauh yang gaduh mulutnya,
Dia gelisah karena ingkar,
Menuntut tenang dari penyangkalanya,
Gaduh, gundah camuk hatinya,
Iya sobek panji kebenaran untuk mengibarkan pembenaran,
Sungguh telah pecah seluruh cermin,
Tak lagi bersolek untuk meperindah,
Hanya air beriak cerminanya,
Goyang buram dan bergelombang,
Sewindu berlalu,
Cermin telah hilang darinya,
Kecuali air yang sekarang ia benarkan,
Sebagai refleksi kebenaran hidupnya.
Iapun kehilangan hakikat,
Membangun duplikat,
Setiap siapa coba memperingat,
Ia cambuk dengan mulut bersilat.
Melolong sana sini pada hari bingar,
Mencari ketenangan didalam jeritnya,
Mencaci jauh yang gaduh mulutnya,
Dia gelisah karena ingkar,
Menuntut tenang dari penyangkalanya,
Gaduh, gundah camuk hatinya,
Iya sobek panji kebenaran untuk mengibarkan pembenaran,
Sungguh telah pecah seluruh cermin,
Tak lagi bersolek untuk meperindah,
Hanya air beriak cerminanya,
Goyang buram dan bergelombang,
Sewindu berlalu,
Cermin telah hilang darinya,
Kecuali air yang sekarang ia benarkan,
Sebagai refleksi kebenaran hidupnya.
Iapun kehilangan hakikat,
Membangun duplikat,
Setiap siapa coba memperingat,
Ia cambuk dengan mulut bersilat.
Sabtu, 06 Januari 2018
KESIANGAN
Mingguku kelabu,
Dimulai dari kelopak membiru,
Langit kelabu,
Dan isi dompet yang tinggal seribu,
Ku usap mukaku dengan tangan,
Kutengok sekeliling kamar,
Kudapati jendela yang berlinang linang,
Sial aku kesiangan,
Kujamah teman tidurku semalam,
Mencari cari kaca yang hilang,
Agar mataku tak lagi buram,
Bangunlah aku kutengok laptop lalu suram,
Ditemani secangkir kopi yang kusam,
Bertengger lagi berjam jam,
Hilang sudah pagiku sayang,
Tinggal mulut yang masam,
Kukiram masam ini hilang,
Sampai hitam gigiku,
Sial ampas kopi kutelan,
Hah kuingat kembali hari liburku hilang.
Dimulai dari kelopak membiru,
Langit kelabu,
Dan isi dompet yang tinggal seribu,
Ku usap mukaku dengan tangan,
Kutengok sekeliling kamar,
Kudapati jendela yang berlinang linang,
Sial aku kesiangan,
Kujamah teman tidurku semalam,
Mencari cari kaca yang hilang,
Agar mataku tak lagi buram,
Bangunlah aku kutengok laptop lalu suram,
Ditemani secangkir kopi yang kusam,
Bertengger lagi berjam jam,
Hilang sudah pagiku sayang,
Tinggal mulut yang masam,
Kukiram masam ini hilang,
Sampai hitam gigiku,
Sial ampas kopi kutelan,
Hah kuingat kembali hari liburku hilang.
Jumat, 05 Januari 2018
Malam dan Pagi
Karena dialah malam,
Yang memberikan kepedihan,
Dan aku yang terbuai olehnya,
Dalam ruang mimpi yang menyesatkan,
Candumu aku ingin tinggalkan,
Biarkanku berpaling pada pagi,
Pagi yang menjanjikan fajar,
Bukan kau yang menjajikan mimpi,
Teruntuk pagi,
Aku ingin sekali lagi dicintai,
Peganglah tanganku,
Jangan biarkan aku kembali pada malam
Dan untuk malamku,
Aku tak pernah membencimu,
Hanya saja aku ingin,
Kau tetaplah bersama raga yang ditinggal jiwa.
Yang memberikan kepedihan,
Dan aku yang terbuai olehnya,
Dalam ruang mimpi yang menyesatkan,
Candumu aku ingin tinggalkan,
Biarkanku berpaling pada pagi,
Pagi yang menjanjikan fajar,
Bukan kau yang menjajikan mimpi,
Teruntuk pagi,
Aku ingin sekali lagi dicintai,
Peganglah tanganku,
Jangan biarkan aku kembali pada malam
Dan untuk malamku,
Aku tak pernah membencimu,
Hanya saja aku ingin,
Kau tetaplah bersama raga yang ditinggal jiwa.
Kamis, 04 Januari 2018
DUKA DUA
Tiada rasa yang tersimpan,
Semua nampak pada mata hati,
Seperti lelah sudah aku berlari,
Memaling muka hanya berpura belaka,
Meyakinkan diri dari yang terjadi,
Aku lebih memilih menerima,
Dihadapan tuhan dan minta ampunan,
Tapi daya memaksa raga bercerita,
Melawan tak tau menang atau karam,
Menunggu hanya jadi sebab pilu,
Merekah dada sudah diujungnya,
Menahan lentusan murka di dada,
Ah aku nekad saja,
Daripada kerja paksa,
Dan mati oleh kecewa,
Hidup pula tak pernah tertawa,
Kecuali sebuah sandiwara.
Semua nampak pada mata hati,
Seperti lelah sudah aku berlari,
Memaling muka hanya berpura belaka,
Meyakinkan diri dari yang terjadi,
Aku lebih memilih menerima,
Dihadapan tuhan dan minta ampunan,
Tapi daya memaksa raga bercerita,
Melawan tak tau menang atau karam,
Menunggu hanya jadi sebab pilu,
Merekah dada sudah diujungnya,
Menahan lentusan murka di dada,
Ah aku nekad saja,
Daripada kerja paksa,
Dan mati oleh kecewa,
Hidup pula tak pernah tertawa,
Kecuali sebuah sandiwara.
DUKA
Tak ada yang lebih menyiksa daripada ini,
Perang antara cita dan keraguan,
Derunya menggema otak,
Getarnya menggoyah jiwa,
Dan silatnya menusuk jantung,
Pikirku melayang diantara ketidakpastian,
Nyaliku menciut keriput,
Menyisakan tulang yang bergetar,
Tiba tiba aku menua,
Tak punya nyali melawan dunia,
Tubuhku membeku,
Terjepit antara realita dan mimpi,
Sungguh sakit, aku ingin pergi,
Bergerak bebas tanpa memikirkan,
Beban yang tak seharusnya,
Apakah ini keluhan,
Atau penyakit yang menggerogoti jiwa,
Aku pinta keadilan,
Tunjukilah aku pada keadilan,
Aku bosan muak dan pedih.
Perang antara cita dan keraguan,
Derunya menggema otak,
Getarnya menggoyah jiwa,
Dan silatnya menusuk jantung,
Pikirku melayang diantara ketidakpastian,
Nyaliku menciut keriput,
Menyisakan tulang yang bergetar,
Tiba tiba aku menua,
Tak punya nyali melawan dunia,
Tubuhku membeku,
Terjepit antara realita dan mimpi,
Sungguh sakit, aku ingin pergi,
Bergerak bebas tanpa memikirkan,
Beban yang tak seharusnya,
Apakah ini keluhan,
Atau penyakit yang menggerogoti jiwa,
Aku pinta keadilan,
Tunjukilah aku pada keadilan,
Aku bosan muak dan pedih.
Senin, 01 Januari 2018
Rindu Bahagia
Kita seruang sewaktu,
Dilorong lorong sempit itu kami bergerak sejalan,
Dilorong itu pula kami bergerak masing masing,
Yang terlihat atau dibalut rasa kantuk,
Nampak muka muka yang merindu wanginya pembaringan,
Sedang aku harus merindu apa,
Rasanya lelah menolaku, dan sepi memeluku,
Aku ingin bebas dari rutinitas,
Jikalau aku malas,
Maka aku ingin dipecut,
Jikalau aku pengecut,
Maka aku ingin sembuh lekas.
Dilorong lorong sempit itu kami bergerak sejalan,
Dilorong itu pula kami bergerak masing masing,
Yang terlihat atau dibalut rasa kantuk,
Nampak muka muka yang merindu wanginya pembaringan,
Sedang aku harus merindu apa,
Rasanya lelah menolaku, dan sepi memeluku,
Aku ingin bebas dari rutinitas,
Jikalau aku malas,
Maka aku ingin dipecut,
Jikalau aku pengecut,
Maka aku ingin sembuh lekas.
Langganan:
Postingan (Atom)