Tertunduk insan diwajah bumi yang suram,
Melolong sana sini pada hari bingar,
Mencari ketenangan didalam jeritnya,
Mencaci jauh yang gaduh mulutnya,
Dia gelisah karena ingkar,
Menuntut tenang dari penyangkalanya,
Gaduh, gundah camuk hatinya,
Iya sobek panji kebenaran untuk mengibarkan pembenaran,
Sungguh telah pecah seluruh cermin,
Tak lagi bersolek untuk meperindah,
Hanya air beriak cerminanya,
Goyang buram dan bergelombang,
Sewindu berlalu,
Cermin telah hilang darinya,
Kecuali air yang sekarang ia benarkan,
Sebagai refleksi kebenaran hidupnya.
Iapun kehilangan hakikat,
Membangun duplikat,
Setiap siapa coba memperingat,
Ia cambuk dengan mulut bersilat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar