Aku adalah ranting diujung pohon rindang.
Aku terlahir ditengah sebuah keluarga besar, cukup besar diantara banyaknya keluarga terencana, aku anak ketujuh dari tujuh bersaudara alias sibungsu atau bontot biasa ibuku memanjakanku, walau keluargaku sederhana tapi waktu kecilku kuhabiskan dengan bahagia tak kurang kasih sayang tak kurang makanan bahkan pipiku sering dicubit lantaran seperti bakpau. Kasih sayang yang kudapat lebih dari cukup untuk membuatku tumbuh dengan psikis yang sehat, kakak-kakaku tumbuh dewasa sangat cepat, tentu saja dengan jarak umur kakak termudaku saja 8 tahun, bisa kalian bayangkan kakak pertamaku, yah untuk jaman sekarang mungkin dia adalah ayah bagi kalian, sering sekali aku mendengar kisah-kisah hebat saudaraku dari ibu, apalagi menjelang tidur seperti kisah tentang kakak pertamaku yang membelikan pisang untuk makananku saat bayi, atau kisah heroiknya saat membawa sekarung beras untuk satu keluarga saat persediaan beras habis, tapi sayang kakaku tak cukup mengenyam bangku pendidikan, ibuku selalu memperlihatkan muka kekecewaanya setiap kali menceritakan kakak laki-laki tertuaku, sambil menasehatiku yang masih lugu, namun tak sedikitpun kekagumanku berkurang padanya kakak tertuaku, kemudian kisah lainya tentang kakak keduaku yang pada saat itu sudah bisa terbang bekerja ke timur indonesia walau dia perempuan atau kakak perempuan ketigaku yang bisa pergi keluar negeri walau hanya sebagai TKW tentu pada saat itu tak sengeri TKI sekarang bahkan bisa menjadi kebanggaan di desaku, kemudian tentang hebatnya kakak laki-laki keempatku yang paling sering dibandingkan denganku namun aku senang karena kakaku ini yang paling pintar tentang filisofi serta kesukaanya paling mirip denganku, kemudian dua kakak perempuanku kelima dan keenam bagaimana gigihnya mereka membantu merawatku saat ibuku sudah terlalu lelah merawatku, tak jarang ibuku menceritakan harapan-harapan indahnya untuku sambil membelai kening dan rambutku, memupuk impian-impian kakak-kakaku dulu yang belum sempat tercapai kepadaku, tentu saja saat itu aku masih polos hanya bisa mendengar lalu terlelap disampingnya.
Mitos tentang sibungsu memang melekat padaku, yang manja, nakal, malas dan ingin menang sendiri, seringkali aku bertengkar dengan kakak termudaku tapi anehnya kalaupun aku yang memulai aku yang selalu dibela ibuku, selain aku masih kecil mungkin inilah hebatnya jadi anak bungsu "The power of Bontot".
Aku disekolahkan di TK untuk pertamakali saat umurku hampir 7 tahun, sedikit terlambat memang tapi tak ada pilihan lain karena tahun ajaran sekolah di negeriku ini yang selalu memotong bulan diantara 2 tahun, selain itu bulan lahirku yang kurang pas resikonya bisa terlalu muda atau ketuaan untuk masuk sekolah. Tapi ini bukan masalah aku bersyukur masih bisa sekolah.
Hari-hariku disekolah selalu menyenangkan, dengan segala kekurangan ibuku selalu memenuhi kebutuhanku, pada saat itu aku belum paham bagaimana susah payahnya perjuangan ibuku, yang aku tahu saat itu aku bahagia dan senang berada dikeluarga ini.
SD lalu SMP semua berlalu dengan kesan yang sama, tapi entah sengaja atau tidak disetiap kelulusanku aku selalu berhasil membawa ibuku naik panggung dan berdiri didepan orang tua wali lainya, dengan senyumnya yang seperti biasa selalu menawan dan menyejukan seperti rasanya sudah mampu aku tak menyia nyiakan perjuanganya.
Sampai tiba masa putih abu-abuku, aku sekolah di salah satu SMK negeri terbaik di kotaku dengan biaya yang tak murah tentunya belum lagi karena jaraknya yang lumayan jauh serta transportasi yang terbatas aku harus kos disana, untunglah kakak-kakaku banyak dan bisa membantu, dengan sifat manja dan malas yang masih kubawa saat kecilku tak kusadari kelakuanku mulai badung, dari tak pernah belajar, selalu bermain sesuka hati menghabiskan uang jatah 1 minggu hanya beberapa hari, sampai kadang menggelapkan sedikit uang beasiswa yang kudapat untuk bermain, yah beasiswa karena nilaiku bagus saat SMP. aku mulai lupa tentang cerita-cerita ibuku, tentang perjuangan kakaku, sering aku pulang hanya untuk minta uang kemudian pergi lagi tanpa ragu menghabiskanya, begitu kehidupanku selama 2 tahun, pernah aku marah karena orangtuaku tak bisa memberikan uang padaku dan tanpa perasaan berteriak kepada mereka, sampai pernah suatu kejadian ibuku menangis dihadapanku, tangis yang biasanya dia sembunyikan dibelakangku hanya agar aku tak menghawatirkanya, sungguh ingin menangis ketika aku mengingatnya, sampai pada masa yang sangat sulit dimana uang sekolahku tak bisa dibayar, rangking kelasku 29 dari 36 siswa dikelas pernah juga tertahan ikut ujian sampai bertengkar dengan guruku lantaran orangtuaku belum mampu membayar. Sepertinya Tuhan saat itu sedang memojokanku, mencoba mengingatkanku dan menegurku lewat kejadian kejadian itu, untungnya aku ikut beberapa ekskul dan organisasi disekolahku, serta aku dikelilingi oleh teman-teman yang luar biasa.
Hingga aku tersadar pada masa dimana otaku yang sudah mampu mengarahkanku pada pola pikir yang sedikit lebih matang dan dewasa, aku mulai ingat kembali cerita cerita ibuku, mataku kini terbuka kembali, bodohnya aku yang tak bisa melihat usaha orangtuaku dan saudara saudaraku, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu memperjuangkanku, aku paham bahwa mimpi-mimpi mereka yang belum sempat tercapai mereka percayakan kepadaku, tentang membahagiakan orangtua, tentang menjadi kebanggaan keluarga, itulah alasan mengapa orang tua dan saudaraku selalu menasehati dan memberikan mimpi-mimpinya padaku, kadang memang seperti terbebani namun jika kurenungkan kembali begitu besar kepercayaan yang mereka berikan padaku. Hingga aku kadang takut mengecewakan mereka. Mulai saat itu aku menjadi lebih banyak diam, menerima apa adanya hidupku dan keluargaku, aku juga tak lagi menyalahkan orangtuaku kenapa aku tak mampu seperti mereka yang hidupnya terlihat lebih bahagia dengan segala ketersediaanya.
Tibalah saat bulan bulan terakhir masa putih abu-abuku, aku menjadi lebih giat, nilaiku mulai meningkat lagi, dan setiap malam doaku kupanjatkan agar aku bisa sekali lagi memberikan senyum menawan ibuku yang sempat kunodai dengan airmata atas tindakan bodohku.
Tapi tuhan menguji kesungguhanku sekali lagi, saat ujian nasional hampir dimulai aku harus sakit cikungunya, nyeri seluruh tubuhku, belajarpun sulit, tapi doa selalu aku panjatkan setiap malam sambil membayangkan cita-citaku, ujianpun dimulai, tiga hari kulalui dengan bercak merah khas cikungunya di tubuhku. Namun kali ini aku tak mau mengeluh pada ibuku, aku sadar aku sudah terlalu merepotkan, akupun tak mau membuatnya khawatir kutahan semua rasa sakitku sebagai bayaran, yang kuyakini aku mampu melewati semuanya dan membahagiakanya lagi.
Ujian selesai dan masa menunggu dimulai dengan cemas hari hariku kulalui dengan doa, sesekali mencoba melamar bekerja, sampai harus tidur diterminal jogja, itu salah satu pengalaman hebatku tentu. Dari jogja kudengar nilaiku bagus itu hasil dari perhitingan guru-guru disekolahku aku belum yakin nilai UAN ku benar benar bagus.
Dan tiba masa pelepasanku, semua orangtua wali diundang tentu saja seperti yang lalu ibuku datang, namun semua tak berjalan mulus, aku harus membuat ibuku agak marah lantaran membuat ibuku bingung untuk memberikan jas istimewa yang dibawa ibuku dari menyewa disebuah salon pernikahan didesaku, akupun harus mengambilnya di sekolah, tentu saja karena ibuku menunggu disekolah bersama wali murid lainya, dengan Sandal jepit dan celana pendek akupun lari kesekolah tinggal 30 menit acara pelepasan dimulai, sampai disana aku harus dimarahi kaprodiku (kepala jurusan disekolahku) lantaran memakai baju bebas dan belum siap, sempat beliau bilang "Gimana sih kok belum siap,.!! nanti kan kamu naik panggung", tanpa pikir panjang dan menghiraukan perkataan itu aku bergegas kembali ke kos untuk berganti baju dan memakai jas istimewa itu, dengan raut muka ibuku yang masih agak kesal aku menemuinya disekolah dan meminta maaf tentunya dengan jas yang sudah kupakai, ditengah acara terakhir disekolahku itu diumumkanlah siswa yang berprestasi, aku sama sekali tak berharap karena yang ku pikir aku hanya bermodal doa tekun saat sepertiga malam, selain itu belajarku jarang dan sakit saat ujian berlangsung, tapi tanpa disangka setelah dua temanku dipanggil keatas panggung yang ketiga adalah aku, dengan peringkat satu pula, dan ternyata doaku terkabul aku berhasil mengbalikan senyum menawan ibuku lagi, lega rasanya acarapun selesai kukira kalimat naik panggung dari kaprodiku itu hanya untuk mengambil ijazah saja ternyata ada hal lain, acarapun selesai aku antar ibuku naik bus, dan uang hadiahpun aku berikan kepadanya, senang rasanya bisa mengembalikan senyumnya, memberikan uang hadiah padanya saat pulang walau bukan yang pertama tapi itu cukup membanggakan setelah kulukai perasaanya oleh kelakuanku dulu.
Aku sadar kelulusanku baru titik awal dari perjuanganku untuk mengemban mimpi-mimpi dan harapan dari saudara dan orangtuaku, yang mau tak mau dan harus siap aku pikul sebagai balas budi pengorbanan mereka selama ini.
Dan mungkin benar aku adalah ranting diujung pohon rindang ini. Yang mereka harapkan akan menumbuhkan buah yang terbaik dari buah yang telah ditumbuhkan ranting ranting lain didalam pohon keluargaku ini, orang tua adalah akar dan batang, serta ranting lain adalah saudara kandungku, yang rela membagi airnya agar mengalir dan menumbuhkanku sebagai ranting terujung di pohon ini.