Aku tidak mengenalmu dari musim gugur yang menjatuhkan daun daun dan menyebarkan suasana pilu,
Aku tidak mengenalmu dari musim dingin yang membalut permukaan dengan salju dan membuat suasana dingin,
Aku tidak mengenalmu dari musim semi yang menhijaukan bumi dan menebar keriangan,
Akupun tak mengenalmu dari musim panas yang menggersangkan bumi dan mengusir manusia dari pelukan angin,
Aku hanya mengenalmu lewat rintik air dari langit yang membatasi dua musim, Datang dan perginya yang selalu diiringi hujan,
Dimana setiap pagi dan petangnya selalu menggoreskan kisah pada dinding kenangan,
Disanalah aku mengenalmu dan disana pula aku mengikhlaskanmu,
Sedang sisa sisa kisahku dan kamu,
Terekam pada percik air usai hujan,
Dan seketika sampailah padaku kenangan itu pada nafas pertama,
Oleh angin yang menebarkan bau basah.
“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing” - Chairil Anwar
Senin, 26 Februari 2018
Selasa, 20 Februari 2018
Senja hidup
Tidak ada senja yang terlalu awal atau datangnya terlambat, Kalaupun langit tak selalu cerah, dan jingganya tertutup mendung, Ia selalu ada dan akan selalu datang, Membawa suasana suram dibatas suasana, Menjadi tanda akan datangnya malam yang gelap, Membawa suasana yang sepi dan kesepian, Memberi isyarat pada jiwa dan raga untuk berhenti terjaga dan menyuruh istirahat, untuk menyambut cerah berikutnya, dan aku percaya hidup selaksana siang dan malam yang berganti, Ketika kesepian yang suram datang disitulah senja hidup kita, sebentar lagi istirahatlah, kemudian siapkan untuk pagi yang cerah berikutnya.
Senin, 05 Februari 2018
SAJAK-KU
Sajak-ku adalah naungan,
Bagi gelisah yang ingin damai,
Sedih yang ingin berbahagia,
Dan tangis yang ingin tersenyum,
Seluruhnya emosi berselimut etika,
Mencari rupa tampan dari bahasa,
Menutupi luapan murka,
Lewat jalan yang beradab,
Resah adalah tandaku,
Dari murka yang mendesak,
Aku hanya ingin tetap bersahaja,
Saat emosi meletup dan meletus.
Minggu, 04 Februari 2018
Cari
Aku berlari kesana kemari,
Menoleh kanan dan kiri,
Keningku mengembun,
Lalu mengucur seperti mata air,
Aku masih mencari cari,
Kupandang seluruhnya,
Tapi luputku pada diri,
Tersadar itu ada didalam diri,
Kini aku mengerti,
Kau bukan berada diluar sana,
Kau bersemayam didalam dada,
Tapi tak sampai aku menggapaimu,
Aku takut merobek dada,
Betapapun sadar kau bersemayam disana,
Menoleh kanan dan kiri,
Keningku mengembun,
Lalu mengucur seperti mata air,
Aku masih mencari cari,
Kupandang seluruhnya,
Tapi luputku pada diri,
Tersadar itu ada didalam diri,
Kini aku mengerti,
Kau bukan berada diluar sana,
Kau bersemayam didalam dada,
Tapi tak sampai aku menggapaimu,
Aku takut merobek dada,
Betapapun sadar kau bersemayam disana,
Sabtu, 03 Februari 2018
Hujan
Aku seperti melihat kemarahan pada hujan hari ini,
Ia mengibas ngibaskan kemarahan,
Dengan percikan cahaya dan suara gertakan,
Setelah seharian tenang bersahaja
Apakah ada doa,
Apakah ada pertanda,
aku menanti hujan yang membelai,
Mendinginkan setiap jiwa yang mengamuk
Ia mengibas ngibaskan kemarahan,
Dengan percikan cahaya dan suara gertakan,
Setelah seharian tenang bersahaja
Apakah ada doa,
Apakah ada pertanda,
aku menanti hujan yang membelai,
Mendinginkan setiap jiwa yang mengamuk
Jumat, 02 Februari 2018
Bimbang
Hidup adalah bergerak,
Bergerak selalu butuh tujuan,
Tujuan membutuhkan jalan,
Jalan selalu mempunyai konsekuensi baik dan buruk untuk ditempuh,
Jikalau tujuanku adalah hanya untuk dihargai,
Maka apakah untuk aku harus memilih jalan,
Jalan tercepat mungkin dengan tak melihat baik dan buruk,
Tapi norma selalu membentengi tekad,
Aku tak benci norma,
Hanya saja tujuanku,
Seperti dibelenggu norma,
Aku ragu memilih tujuan atau norma
Jikalau kupilih norma,
Siapa yang akan menghargai,
Hidupku dikelilingi mata mata nominal,
Mereka tak pernah memandang cara
Mata mata itu,
Selalu melihat materi,
Sedang aku bukan putus asa,
Aku hanya masih punya norma,
Bergerak selalu butuh tujuan,
Tujuan membutuhkan jalan,
Jalan selalu mempunyai konsekuensi baik dan buruk untuk ditempuh,
Jikalau tujuanku adalah hanya untuk dihargai,
Maka apakah untuk aku harus memilih jalan,
Jalan tercepat mungkin dengan tak melihat baik dan buruk,
Tapi norma selalu membentengi tekad,
Aku tak benci norma,
Hanya saja tujuanku,
Seperti dibelenggu norma,
Aku ragu memilih tujuan atau norma
Jikalau kupilih norma,
Siapa yang akan menghargai,
Hidupku dikelilingi mata mata nominal,
Mereka tak pernah memandang cara
Mata mata itu,
Selalu melihat materi,
Sedang aku bukan putus asa,
Aku hanya masih punya norma,
Ambiguitas
Memahami hidup itu sulit,
Tak seperti aku dulu saja,
Yang begitu optimis dan idealis,
kurasa aku terlalu banyak ingin tahu,
kemudian terjebak dalam gelapnya persepsi,
kini aku terlanjur tersesat,
aku tak tahu bagaimana kembali,
dan terlalu letih melanjutkan,
Nafsuku hilang,
aku hanya ingin kedamaian,
tapi pikirku menolak, ia memberontak,
sedangkan ada pula kekuatan yang menahan bergerak,
memusingkan apa yang seharusnya tak kupusingkan,
dulu aku iri pada orang orang yang banyak tahu,
kini aku ingin menjadi mereka yang sedikit tahu,
bahwa sebenarnya mengetahui kebenaran adalah menambah kesulitan,
kini lisanku berhenti,
berhenti untuk mengungkap persepsi,
karena begitu berarti sebuah tindakan kecil,
dibanding setumpuk teori,
aku ingin pulang tapi tak ada jalan,
inginku menyanding bapak ibu,
tapi tak kuasa keyakinanku,
jika aku dulu mungkin saat ini aku sudah berkemas,
bahkan tak sempat menulis resah,
apakah aku terjebak dalam penyesalan,
ataukah hari ini aku sedang diasah,
supaya instingku tak lagi tumpul,
atau bahkan aku sedang mengarat.
Tak seperti aku dulu saja,
Yang begitu optimis dan idealis,
kurasa aku terlalu banyak ingin tahu,
kemudian terjebak dalam gelapnya persepsi,
kini aku terlanjur tersesat,
aku tak tahu bagaimana kembali,
dan terlalu letih melanjutkan,
Nafsuku hilang,
aku hanya ingin kedamaian,
tapi pikirku menolak, ia memberontak,
sedangkan ada pula kekuatan yang menahan bergerak,
memusingkan apa yang seharusnya tak kupusingkan,
dulu aku iri pada orang orang yang banyak tahu,
kini aku ingin menjadi mereka yang sedikit tahu,
bahwa sebenarnya mengetahui kebenaran adalah menambah kesulitan,
kini lisanku berhenti,
berhenti untuk mengungkap persepsi,
karena begitu berarti sebuah tindakan kecil,
dibanding setumpuk teori,
aku ingin pulang tapi tak ada jalan,
inginku menyanding bapak ibu,
tapi tak kuasa keyakinanku,
jika aku dulu mungkin saat ini aku sudah berkemas,
bahkan tak sempat menulis resah,
apakah aku terjebak dalam penyesalan,
ataukah hari ini aku sedang diasah,
supaya instingku tak lagi tumpul,
atau bahkan aku sedang mengarat.
Resah Tanpa Alasan
Tidak ada yang ingin merasa resah,
Resah adalah neraka,
Yang manis jadi pahit,
Mengaburkan segala kesadaran dan realita,
Tidak ada yang mau menerima kehadiranya
Tapi ia bukanlah hal yang bisa dicegah
Ia datang laksana angin yang menghembus lewat celah rumah
Tanpa sadar tiba tiba ia sudah didalam,
Resah karena ingin kaya kau tinggal cari harta,
Resah karena kekasih tinggal kau temui kekasih,
Resah beralasan bukanlah siksa
Iya hadir untuk menghidupkan
ada yang lebih berat dari resah,
Adalah resah tanpa alasan,
Dia mengganggu tidurmu,
mengganggu hidupmu,
Sebesar apa kau ingin menghilangkanya,
kau tak akan mengerti bagaimana,
Ia singgah tanpa alasan,
Pergipun harusnya tanpa alasan,
kemudian pikiranmu terpedaya,
bingung bagaimana mengusirnya,
sedang ia terus mengurasmu,
jiwa dan berdampak ragamu,
aku ingin bebas,
dari resah yang menggelisah,
datanglah tentram dan damai,
jangan minta alasan, datanglah seperti resah tanpa alasan
Resah adalah neraka,
Yang manis jadi pahit,
Mengaburkan segala kesadaran dan realita,
Tidak ada yang mau menerima kehadiranya
Tapi ia bukanlah hal yang bisa dicegah
Ia datang laksana angin yang menghembus lewat celah rumah
Tanpa sadar tiba tiba ia sudah didalam,
Resah karena ingin kaya kau tinggal cari harta,
Resah karena kekasih tinggal kau temui kekasih,
Resah beralasan bukanlah siksa
Iya hadir untuk menghidupkan
ada yang lebih berat dari resah,
Adalah resah tanpa alasan,
Dia mengganggu tidurmu,
mengganggu hidupmu,
Sebesar apa kau ingin menghilangkanya,
kau tak akan mengerti bagaimana,
Ia singgah tanpa alasan,
Pergipun harusnya tanpa alasan,
kemudian pikiranmu terpedaya,
bingung bagaimana mengusirnya,
sedang ia terus mengurasmu,
jiwa dan berdampak ragamu,
aku ingin bebas,
dari resah yang menggelisah,
datanglah tentram dan damai,
jangan minta alasan, datanglah seperti resah tanpa alasan
Langganan:
Postingan (Atom)